Tulisan ini didedikasikan untuk memperingati Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia dengan semangat yang membara, merefleksikan makna kemerdekaan sejati bagi rakyat dalam berekspresi dan berusaha. Kemerdekaan bukan hanya tentang lepas dari penjajahan fisik, tetapi juga tentang pembebasan dari segala bentuk belenggu yang menghambat potensi dan kesejahteraan rakyat.
Kemerdekaan sebagai Ruang Ekspresi dan Berusaha
Kemerdekaan adalah sebuah "mandat" bagi setiap individu untuk menemukan dan mengaktualisasikan dirinya. Bagi rakyat, kemerdekaan sejati berarti adanya kesempatan yang luas untuk berkreasi, berinovasi, dan berkarya tanpa rasa takut atau cemas. Ini mencakup hak untuk berpendapat, menyebarkan gagasan, dan mengembangkan usaha yang mereka impikan.
Secara akademis, gagasan ini selaras dengan konsep "capability approach" yang dipelopori oleh Amartya Sen. Menurut Sen, pembangunan sejati harus diukur bukan hanya dari pertumbuhan ekonomi, melainkan dari sejauh mana individu memiliki "kemampuan" (capabilities) untuk menjalani kehidupan yang mereka hargai. Dalam konteks Indonesia, ini berarti pemerintah harus menciptakan lingkungan yang mendukung rakyat untuk memiliki kemampuan (capabilities) tersebut, termasuk kemampuan untuk berekspresi dan berusaha.
Ini adalah perwujudan dari nilai-nilai Pancasila, khususnya sila keempat, "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan," dan sila kelima, "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia." Keadilan sosial menuntut bahwa setiap orang, tanpa terkecuali, memiliki kesempatan yang sama untuk menikmati hasil kemerdekaan, termasuk dalam bidang ekonomi dan sosial.
Landasan Konstitusional dan Budaya
Landasan perjuangan ini tercantum jelas dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 28E ayat (3) secara eksplisit menjamin "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat." Sementara itu, Pasal 33 mengatur bahwa "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan" dan "Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara."
Pasal-pasal ini adalah jaminan konstitusional bahwa pemerintah harus menjadi fasilitator, bukan penghambat. Negara berkewajiban untuk memastikan bahwa ekonomi dijalankan untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk segelintir elite. Ini adalah tugas suci untuk mengimplementasikan cita-cita para pendiri bangsa yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Nilai-nilai ini diperkuat oleh budaya nusantara yang kaya, yang tercermin dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Semangat persatuan dalam keberagaman ini menunjukkan bahwa meskipun kita berbeda-beda dalam asal-usul, budaya, dan profesi, kita semua adalah bagian dari satu kesatuan yang memiliki hak yang sama untuk berkembang. Gotong royong, sebagai salah satu budaya nusantara, harus menjadi prinsip dalam membangun ekonomi yang berpihak pada rakyat, di mana pemerintah dan rakyat bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.
Harapan kepada Pemerintah dan Pemimpin
Dalam semangat hari kemerdekaan ini, ada harapan yang tulus kepada pemerintah dan para pemimpin. Harapannya adalah agar para pemimpin dapat memahami kondisi rakyatnya secara mendalam, mendengar keluh kesah mereka, dan tidak membebani rakyat dengan kebijakan yang memberatkan, termasuk pajak yang besar.
Pajak memang merupakan instrumen penting untuk pembangunan, tetapi haruslah berprinsip pada keadilan dan proporsionalitas. Pengenaan pajak yang terlalu tinggi dan tidak seimbang, terutama bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) atau rakyat berpenghasilan rendah, dapat mematikan semangat berekspresi dan berusaha. Hal ini secara langsung dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dari bawah dan berpotensi memicu ketidaksetaraan yang lebih besar.
Menurut teori ekonomi, pajak yang berlebihan dapat mengurangi daya beli masyarakat dan menekan inovasi, yang pada akhirnya dapat memperlambat laju ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah harus bijak dalam merumuskan kebijakan fiskal. Alih-alih membebani rakyat dengan pajak, pemerintah dapat mengoptimalkan penerimaan negara melalui sektor-sektor strategis, menekan korupsi, dan memastikan bahwa setiap rupiah pajak yang terkumpul digunakan seefisien mungkin untuk kepentingan rakyat, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan yang berkualitas.
Semoga semangat kemerdekaan yang telah diperjuangkan 80 tahun lalu tidak pernah padam. Mari jadikan kemerdekaan sebagai momentum untuk terus berjuang: bukan lagi melawan penjajah, tetapi melawan kemiskinan, ketidakadilan, dan segala hambatan yang menghalangi kita untuk mencapai cita-cita kemakmuran yang adil dan merata. Dirgahayu Indonesia! Merdeka!